Minggu, 15 Desember 2013

Hidup Ini Sandiwara, Bukan Belaka!




Dari kecil kita mendengar hidup ini sandiwara tetapi karena – mungkin – ditambah embel-embel “belaka” akhirnya konotasi yang melekat terkesan hidup ini main-main, apalagi terkadang masih ditambah di depannya kata “hanyalah”. Lengkaplah kesan main-main itu. Padahal sandiwara adalah exhibisi permainan (the game) yang berbeda dengan main-main. Permainan memiliki konsekuensi penilaian kalah dan menang. Konsekuensi itu juga melahirkan dampak psikologis bagi pemain dan bentuk penerimaan di tingkat penonton. Kalau permainan dapat dimenangkan  maka akan membuat pemain (baca: kita) merasa puas (satisfied) dan membuat penonton  memberi reward. Sebaliknya jika kalah maka pemain merasa kecewa (dissapointed) dan penonton tidak punya alasan riil untuk memberi reward. Tidak hanya itu saja, bahkan kekalahan itu sering menghabiskan waktu, energi, dan perhatian kita untuk membuat “pembelaan-diri” dengan segala cara agar penonton tidak mengecam kekalahan.
Bagian paling  mendasar agar kualitas permainan (sandiwara) membuat kita satisfied adalah memahami naskah sebelum memahami peta geografi panggung dan demografi penonton. Seorang pemain yang tidak memahami naskah sandiwara akan membuat space panggung lebih besar dari space pikirannya. Kalau dipaksakan main maka akan membuat banyak peristiwa panggung yang tidak terpikirkan (missing-link) atau mudah terkena penyakit demam panggung. Kalau hal ini terjadi maka bentuk pembelaan-diri apapun di hadapan penonton tidak bermanfaat untuk menangkis peristiwa yang tidak diinginkan terjadi.
Kiasan diatas mewakili gambaran yang terjadi di seluruh wilayah hidup kita. Seorang pemimpin perusahaan yang tidak memahami naskah akan membuat  dirinya mudah kecolongan/kebobolan yang tidak jarang justru berakhir dengan kebangkrutan. Seorang sopir yang space fisik mobil lebih besar dari space pikirannya akan membuat ia tidak tahu ke mana mobil harus diarahkan dan kalau tetap menjalankannya juga maka akan gampang terjadi kecelakaan. Demikian juga dengan diri kita. Bedanya, kita adalah pemain sekaligus penyusun naskah. Karena kitalah yang  (mestinya) tahu peta panggung internal dan eksternal sekaligus lingkungan khalayak penonton.

Naskah  

Pendekatan membuat naskah skenario dalam konteks organisasi telah dikenal bertahun-tahun dengan sebutan ‘strategic thinking’ dan telah  dibuktikan dapat menghasilkan banyak manfaat  bagi organisasi yang menggunakannya, terutama sekali pemahaman peta (naskah) dari mana memulai (konteks sejarah), di mana sekarang dan kemana harus melangkah. Model berpikir strategis ini bertumpu pada lima kriteria, yaitu: organization, observation, driving force, view, dan ideal position (dalam: Strategic management thinking:  Women business center, Dallas TX, 1997).  Kalau kriteria itu kita olah menjadi model kemasan yang mungkin untuk diterapkan dalam skala mikro (organisasi personal) yaitu diri kita, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.
Organisasi


Naskah hidup harus disusun berdasarkan pertimbangan, pengetahuan dan pemahaman tentang siapa  orang-orang yang akan terlibat mendukung agar menjadi tontonan sandiwara yang memuaskan diri kita dan menarik buat penonton. Kalau tidak terjadi nota kesepahaman psikologis  antara kita dengan sejumlah orang yang kita ajak bermitra, akibatnya permainan sandiwara mengecewakan semua pihak.
Dukungan bisa kita ciptakan dari  real networking (mitra/rekanan) , kelompok master mind (sahabat/teman), relationship (keluarga). Bentuk dukungan yang kita butuhkan bisa berupa kontribusi riil  (material) dan kontribusi mental (mental support). Idealnya, kita membutuhkan kedua hal itu. Kalau kita membutuhkan uang tetapi mendatangi sosok yang punya keterbatasan uang juga, maka judul akhirnya problem plus problem.  Dalam rumah tangga sangat perlu dilakukan kebiasaan saling mendukung dan ketergantungan antgara satu dengan yang lain. Seorang suami mungkin memerlukan kontribusi mental dari istri dalam menjalankan tugas sebagai kepala keluarga, anak membutuhkan kontribusi dari orangtua, dsb. Dukungan tidak dapat diperoleh dengan gratis tetapi – meminjam istilah Covey – perlu dibentuk kebiasaan   kesalingbergantungan; saling mendukung.

2.
Observasi 


Naskah hidup seyogyanga disusun berdasarkan pemetaan mental dan observasi lapangan untuk mengurangi gap antara hal apa yang masih konseptual dan hal apa yang merupakan faktual.  Agar hasil observasi lebih akurat dan representative, maka para ahli di bidang model berpikir strategis menawarkan kiat “Airplane thinking” yaitu sebuah kiat di mana kita memposisikan diri berada di atas pesawat mental. Dengan posisi di atas akan membuat penglihatan kita lebih luas dan menjangkau seluruh wilayah yang ada di bumi (panggung realitas). Pesan bijak bilang, orang yang tidak dapat memahami persoalan dari wilayah strategis (baca: spektrum yang lebih luas) akan membuat dirinya hanya berputar-putar di sekeliling problem dan sulit menyusun prioritas (fokus pengembangan).
Tangga pesawat mental akan memudahkan kita merasakan adanya keterkaitan antar objek, membuat kesimpulan menyeluruh, dan mudah membedakan sekian alternative yang ada. Sebaliknya dalam posisi mental di bawah akan membuat penglihatan kita terbatas pada ruangan yang sempit sehingga mudah mengalami stuck dan tidak tahu alternative. Bisa jadi, naskah yang disusun dengan keterbatasan observasi tidak dapat menjabarkan konteks pembahasan  yang lebih luas. Kalau meminjam istilah yang dipakai anak ABG (anak baru gede), orang yang "kuper" (kurang pergaulan) membuat dunia yang  sangat luas ini menjadi sekecil daun kelor.

3.
Sudut Pandang


Naskah hidup sebaiknya disusun tidak selamanya berdasarkan format pandangan lama tetapi harus mendapat sentuhan “different way of thinking”. Dalam teori berpikir strategis, ada empat sudut pandang yang perlu dipertimbangan untuk membentuk skenario yaitu sudut pandang atas lingkungan, marketplace, proyek, dan ukuran proyek. Sudut pandang itu dibutuhkan dalam rangka mengidentifikasi hasil yang diinginkan (outcome), identifikasi elemen kritis, dan mengukur tingkat kesesuaian antara ide dan tindakan
Untuk memperjelas, sudut pandang ini dapat kita kaitkan dengan ungkapan lama bahwa setiap manusia memperoleh “penghidupan” dengan cara menjalani bisnis penjualan (business of selling). Siapa pun dan apapun kita tidak akan mendapatkan sesuatu yang diinginkan - yang kebetulan masih di tangan orang lain - kecuali ada yang kita jual kepada mereka. Agar barang kita laku, maka tidak semestinya kita menjual apapun kepada siapapun dan kapanpun dengan cara apapaun. Profesi yang dipilih para nabi sarat dengan sudut pandang yang matang atas keempat faktor di atas, di mana mereka umumnya memilih profesi bidang pertanian, kelautan, atau industri  tekstil . Tak terkecuali Inul kalau tidak boyong ke Jakarta demi “menjual” goyang ngebornya kemungkinan besar tidak seheboh seperti sekarang ini. 

4.
Sumber Kekuatan


Dalam teori berpikir strategis, sumber kekuatan dapat dipetakan menjadi sumber kekuatan kualitatif (cth: visi, keyakinan berprinsip, tujuan hidup), sumber kekuatan produktif (cth: misi dan fungsi), dan sumber kekuatan kuantitatif (cth: pengalaman, pencapaian prestasi, dll). Peta sumber kekuatan teoritis itu dapat kita jadikan acuan bahwa naskah hidup yang kita rumuskan sebaiknya jangan membabi-buta tetapi sarat dengan perhitungan matang atas faktor kekuatan pemicu, pendorong, dan penopang.  Naskah hidup harus mampu menjelaskan:


·         Visi (tujuan jangka panjang antara 8 sampai 25 tahun mendatang)
·         Definisi Tujuan (manajemen keinginan)
·         Prinsip hidup (keyakinan totalitas dan tidak menerima kompromi)
·         Rumusan Implementasi sesuai dengan kapabilitas saat ini dan berdasarkan kemampuan riil menurut apa yang telah kita alami dan telah kita capai
Kasarnya, jangan sampai asal-asalan terjun payung nekat tanpa menggunakan parasut cadangan, karena hidup ini bukan main-main.

5.
Destinasi Dinamis


Posisi ideal  dalam berpikir strategis menggambarkan keadaan hidup tertentu yang akan kita nikmati apabila seluruh kandungan naskah ini dapat diterjemahkan sesuai rencana mencakup respon penonton, keunggulan yang bakal kita miliki, dan peluang yang kita raih. Pendek kata, posisi ideal adalah wilayah untuk mengekspresikan energi visualisasi kreatif di mana kita akan terinspirasi untuk meraihnya. Tanpa sentuhan ‘khayalan’ mungkin kandungan naskah menjadi hambar dan penonton pun tidak tertarik. Kita bisa menarik pelajaran dani kesuksesan film Titanic. Awalnya cerita itu adalah besi besar bernama kapal yang tenggelam di dasar laut tetapi oleh penulis naskah yang kreatif disulap menjadi sebuah tragedi yang diiringi dengan petualangan cinta antara dua kasta yang menarik sehingga membuat penonton histeris dan ketagihan.
Dalam kaitannya dengan diri kita, naskah hidup perlu disusun tidak semata-mata berdasarkan “apa adanya” tetapi perlu melibatkan khayalan ‘‘apa yang semestinya” terjadi atau harus terinspirasi dengan cita-cita murni sebagaimana saat masih bayi.  Seperti kata orang, tidak selamanya orang gagal itu karena cita-cita hidup yang lebih besar dari kemampuan tetapi seringkali cita-cita yang (dibikin) berstandar rendah dan tidak tercapai seratus persen”. Jadi, posisi ideal bukanlah destinasi akhir tetapi titik proses di mana akhir adalah awal untuk memulai. 

Karakter Permainan 

Penguasaan isi naskah yang dibuat secara orisinil dan didasarkan pada pendekatan model berpikir strategis akan menghasilkan kualitas karakter permainan sebagai berikut:

1.    Menciptakan dialog (kerja sama) yang hidup, dinamis dan komunikatif yang didasarkan atas pemahaman peranan dirinya dan orang lain (supportive people). Dialog yang hidup itu merupakan cermin dari negosiasi dalam berbagai transaksi kepentingan hidup.
2.    Memiliki penguasaan panggung yang lebih akurat sehingga ketika mendadak terjadi kegagapan, orang yang telah menguasai naskah gampang menyusun improvisasi panggung.
3.    Memiliki penampilan yang menarik karena memiliki otoritas mental untuk berkreasi secara kreatif dan berinovasi, sehingga tidak membuat bosan atau monoton.
4.    Memiliki pemahaman bagaimana “menempatkan diri” di atas panggung yang tidak berposisi kontradiktif dengan pemain lain atau apalagi membelakangi penonton. Meminjam istilah Musashi, pemahaman demikian dinamakan “ordered flexibility” yang menggambarkan watak air berbentuk tanpa egoisme bentuk.
5.    Memiliki semangat permainan yang tinggi karena terdorong oleh cita-citanya. Semangat ini pada gilirannya akan menciptakan daya tarik terhadap penonton sehingga mereka menjadi bersemangat.

Belajar  dari karakter para pemain yang sukses, umumnya  mereka memiliki karakteristik yang sama yaitu: penguasaan naskah, penguasaan panggung dan penguasaan emosi penonton. Bagi penonton pemain itulah “the world”. Kiasan ini bisa membuat kesimpulan serupa kalau kita belajar dari kehidupan orang sukses bukan saja dari effect tindakannya tetapi dari isi pikiran dan karakter bertindak. Ciri khas yang umumnya sama adalah mereka menguasa dirinya (personal mastery), menguasai bidangnya (life focus mastery) dan menguasai reaksi lingkungan. Contohnya: menurut cerita para orang tua, kalau Pak Karno lagi berpidato, para petani di Jawa Timur rela membawa radionya ke sawah karena tidak ingin kehilangan apa yang akan disampaikan Soekarno.
Memang tidak semua orang punya panggung dan jumlah penonton sebesar dan sebanyak Soekarno, tetapi prinsipnya semua orang punya tugas mendesain naskah hidupnya, punya tugas menguasai pangung, dan punya tugas menguasai reaksi penonton yang umumnya hanya berkisar kecaman dan pujaan. Kalau tidak dapat menguasai reaksi penonton, atau dengan kata lain apabila anda mengukur sukses hanya sebatas pujaan dan kritik, maka kegelisahan anda tidak akan pernah berakhir. Reaksi adalah effect dari aksi menguasai naskah. Semoga menjadi bahan menyusun naskah hidup anda.(jp)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WAJIB KLIK DI SINI