Lestarikan budaya kab. Muna
KARIA atau PINGITAN
Karia atau pingitan adalah
sala satu kebudayaan yang ada di kabupaten muna, karia di tujukan untuk semua
wanita-wanita muna. Pada dasarnya karia atau dalam bahasa indonesianya Ribut
yang bermakna kemeriaan.
WANITA-WANITA MUNA WAJIB HUKUMNYA UNTUK DI KARIA/di PINGIT Sebelum menikah, hal ini
sebenarnya bermaksud baik, karena dalam prosesi karia para wanita di tempatkan
pada ruangan kecil dimana di dalam tidak terdapat sumber listrik dan dindingan harus terbuat dari
papan yang di kelilingi oleh kain yang berlapis-lapis sampai sinar mataharipun
tidak dapat masuk kedalam ruangan itu (kaghombo/ rumah pingit), ruangan ini dalam bentuk rumah tinggi, para wanita sebelum
masuk kedalam untuk di Pingit, maka mereka wajib mengikuti yang istilanya GHOME GHAGHE (CUCI
KAKI) Setelah
prosesi ini dilakukan mereka tidak boleh menyentu tanah selama 4 hari 4 malam
namun mereka masi bisa beraktifitas di dalam rumah dan masi bisa ketemu tamu,
biasanya dalam prosesi ini mereka di buat sibuk untuk membantu kegiatan dalam
mengahadapi puncak karia, kegiatan yang paling sering dibebankan kepada mereka adalah memilih beras dan membersikan
dalam rumah, setelah 4 hari 4 malam berlalu MAKA mereka memasuki prosesi yang
istilahnya kakadiu (mandi) mereka di beri mantra, sehingga mampu berada di ruangan kaghombo nantiNYA (rumah pingit), di dalam
prosesi mandi itu di pastikan wanita-wanita tersebut dalam keadaan bersih atau
tidak lagi datang bulan. Setelah mandi mereka di iring oleh pelaku –pelaku
orang tua pingitan di dalam rombongan itu harus ada wanita yang disebut matansala, matansala adalah wanita yg
suda pernah dipinggit dan tidak mempunyai cacatan sosial buruk sama sekali.
Matansala nantinya berperan penting dalam acara pingitan, dimana matansala
adalah satu-satunya pihak yang bisa berbicara dengan pihak lain di luar
kaghombo itupun dia lewat bisano (dukun wanita yang bertanggung jawab dalam acara pingitan).
Dalam ruangan pingitan belum ada satu pihakpun yang perna mengabadikan gambar
didalam karena disitu memang tidak ada hal-hal yang berbau teknologi bahkan
suara wanita di dalampun tidak bisa didengar oleh orang diluar, didalam KAGHOMBO mereka cukup
sabar karena selama 4 hari 4 malam mereka berpuasa dan tidak buang air besar sama sekali (dilarang
dan diangap hal yang memalukan) namun bisa buang air kecil, mereka harus jalan
duduk sampai tujuan dan buang air kecil di bansa (keranjang di anyaman bambu ukuran
kecil). Dan mereka duduk di atas papan yang dilapisi anyaman daun kelapa ukuran
satu orang duduk sebagai alas mereka, dan selama 4 hari 4 malam itu bunyi gong
dan tarian linda dan lagu sare di dendangkan selalu (nonstop). Music yang
keluarpun bersifat mistis karena mereka pelaku adat mampu memukul gong selama 4
hari 4 malam nonstop, orang tua bahkan saudara-saudara yang di pingitpun tidak
bisa tidur karena mereka harus tetap terjaga dan jaga dalam setiap waktu,
mereka di wajibkan patroli atau control di bawah kolong rumah kaghombo
menghindari hal-hal yang sifatnya mistis yang sering terjadi saat pinggitan,
dimana mereka sering mengalami hal-hal ane, yang di kenal dengan kesurupan dan
bahkan adanya kejadian-kejadian ane dimana berupa sihir dan jelmahan dan ini
memang sering terjadi. Bahkan bunyi gongpun bisa berbicara dengan aneh menurut
saya. Karena goong itu jika di dalam kaghombo ada wanita yang sebentar lagi
akan nikah atau setelah prosesi pinggit tidak hitung bulan akan mendapatkan
jodonya maka bunyi gong itu pasti berirama “tarimakodhoino” jika tidak hanya
berbunyi “ kariakogandano” dan bunyi itu tidak bisa di ubah siapapun.
Selama 4 hari 4 malam para peserta kaghombo yang terdiri dari
beberapa orang wanita, biasanya lebih dari 10 wanita seperti di rumah la ode ndibale dengan jumlah
peserta 39 dan 1 matansala berarti 40 orang. Mereka di dalam diberi
nasihat-nasihat baik untuk dibimbing mental, dan iman mereka nantinya jika
berkeluarga sendiri dan ketika menjadi isteri dan ibu mereka harus berbuat
seperti apa. Sebenarnya mereka di ajarkan kalau susah sekalipun nantinya dalam
keluarga yang baru mereka bina nantinya, mereka akan tetap mampu bertahan,
sabar dan bisa bangkit menjadi lebih baik karena mereka suda perna di ajar
dalam kondisi terpuruk dimasa mereka dipingit. Itulah banyak pihak mengatakan,
wanita-wanita muna itu setia dan bertanggung jawab, sopan, pandai dan
professional
ntung kebiasaan wilaya dimuna
menyebutnya. Ngibi,mpotanga, ewamuna adalah tarian silat muna yang berkelahi antara pemuda yang memegan
bendera dan tongkat bersenjata pisau dan ini membuar rame teriakan wogha (pukul) dan berhenti
ketiaka seseorang tersinggung sala satu senjata dari yang dipegangnya. Lalu
iring-iringan pun berjalan di teranggi lampu strongkin dan kalego yg membuat
suasana menarik. Sesampainya di rumah untuk menyimpan air tadi maka prosesi
ngibi atau ewawuna tadi kembali diperaganakan sama prosesi sebelum berangkat.
Setelah itu utusan yang membuat acara meminta izin kepada yang punya rumah akan
maksud kedatangan mereka menyimapan air tadi, maka jika prosesi terizinkan
mereka pun balik dan berlangsung lagi tarian silat menarik dan lengokkan tangan
wanita dan laki-laki yang saling serang saputangan dan untuk kembali tidak
boleh lewat dijalan yang sama waktu datang harus kembali memutar sambil
diiringgi seperti saat datang. Ketika sampai mereka suda di tunggu pihak rumah
(kolambuno) disediakan haroa ( sajian makanan lalu
yang menari tadi saling suap dan jadi totonan seru yang membawa tawa pada
peserta yang datang. Pada malam ketiga air tadi di ambil kembali dgn prosesi
yang sama saat menyimpannya. Pada malam ke 4 mereka di keluarkan yang
istilahnya kafosampu, kafosampu berjalan menarik dimana mereka di gendong tidak singgung tanah dan
di antarkan di bangsal acara, mereka di sediakan kursi dimana di kawal oleh 2
orang wanita ada yang ghawi (duduk dibelakang peserta pingit) ada yang pegang busara
(yang duduk memegang lampu dihadapan yang pingit) lalu doa sukur dipanjatkan setelah itu
dibuka dengan tarian paling super yaitu linda oleh bisa yang di percayakan oleh kolambuno (dukun wanita yang
dipercayakan oleh pembuat acara). Setelah itu selendang yang dipake oleh bisano di pakekan
kematansala lalu matansala menari linda juga disini di baung2kan kado, uang
atau apapun itu yang sifatnya hadia untuk yang melakukan pingit setelah merasa menarinya cukup maka
diberikan kepada peserta pingit lain biasanya anak wanita tuan rumah yang bikin
acara dan berlangsung begitu terus dan semua dibuangkan atau dilemparkan hadia
oleh semua penonton yang datang. Prosesi ini berlanjut berdasarkan pemberian
selendang dan sampai semua kebagian maka acara di tutup dengan doa bersama dan
mereka bisa bertemu dan bersosialisasi kembali seperti semula, setelah itu
dilakukan dengan kaghorono bansa, atau buang kotaran hidup ini dilakukan oleh semua yang di pingit
mereka di antar ditempat pengambilan air saat kegiatan kaalono patiiranga biasa
masyarakat tongkuno dimuna mereka lakukan di oe wakambulu ( air wakambulu)
disini mereka kemabali dimantrai di kawal oleh bisa yang sama setelah itu di tutup dengan tarian linda lagi
oleh semua peserta dan ngibi atau tarian silat muna…!! Itulah cerita singkat
dari KEBUDAYAAN DI KABUPATEN MUNA YANG NAMANYA KARIA ATAU PINGITAN.
Ditulis oleh : LA ODE BULANGKAMONI yang dia tulis berdasarkan
pengamatannya saat pingitan di adakan dirumahnya.
wahh it's interesting info for anyone for bunanis meanly...
BalasHapus